—– QUOTE —–
“Lalu apa yang membikin kelas menengah Indonesia ini berlagak keingris-inggrisan (atau istilah seorang teman: keminggris) seperti itu?
Dugaan saya adalah bahwa kelas menengah ini mengembangkan gaya berkomunikasinya sendiri. Fungsi dari menjadi keminggris dalam berbahasa ini adalah untuk memisahkan diri, menyekat (insulated), dan membedakan dari segmen sosial yang dianggap mengganggu, yakni para lumpenproletariat. Kelas menengah ini jelas tidak bisa hidup tanpa para lumpen. Merekalah yang menjadi pembantu, sopir, tukang kebun, tukang sayur, pedagang keliling, tukang pijit, tukang tambal ban, dan lain sebagainya, yang melayani kelas menengah ini. Sesungguhnya mereka sangat tergantung dari para lumpen ini. Lihatlah pada saat Lebaran ketika para lumpen ini mengambil cuti panjangnya. Betapa susahnya hidup tanpa dikelilingi lumpen ini. Namun pada saat yang bersamaan, para kelas menengah ini tidak mau disamakan dengan para lumpen ini. Itulah sebabnya mereka membikin tanda pembeda. Dan perbedaan itu dilayani dengan sangat baik oleh bahasa Inggris.”
—– UNQUOTE —–
Menurut saya, pemikiran penulis di atas sangat dangkal, picik, dan suudzon.
Sudah sangat lama saya ingin menulis tentang mengapa saya sangat sering menggunakan bahasa Inggris. Membaca tulisan tersebut saya jadi ingat dan merasa HARUS menuliskannya sekarang juga.
Saya terbiasa menulis dalam bahasa Inggris pada akun media sosial dan blog saya. Kenapa? Karena teman-teman saya di media sosial bukan hanya orang Indonesia saja, hampir separuhnya adalah non-WNI alias warga dunia, dan saya ingin mereka juga bisa mengerti isi tulisan saya, seperti halnya mereka juga ingin mengerti apa yang saya bicarakan.
Saya terbiasa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan anak-anak saya sehari-hari, ada maupun tidak ada orang lain (baca: pembantu). Kenapa? Saya ingin anak-anak saya menjadi warga dunia, dan mampu menguasai bahasa yang dapat dimengerti di seluruh dunia, yaitu bahasa Inggris.
Karena kami tinggal di Indonesia, dan bahasa yang digunakan sehari-hari dalam lingkungan sekitar adalah bahasa Indonesia, maka cara paling efektif untuk membekali mereka dengan kemampuan berbahasa Inggris adalah dengan mempraktekkannya sehari-hari di rumah.
Kalau kasusnya adalah kami tinggal di luar negeri yang bahasa utamanya adalah bahasa Inggris, maka saya akan berbicara dengan anak-anak saya di rumah menggunakan bahasa Indonesia. Kenapa? Supaya mereka tidak lupa akan bahasa nenek moyangnya.
Sejak sebelum masuk TK, mama saya yang kemampuan berbahasa Inggrisnya sangat terbatas, sudah mengajari saya bahasa Inggris dasar dan lagu-lagu berbahasa Inggris seperti My Bony. Alhasil saya sangat menyukai dan menguasai bahasa Inggris sejak kecil. Mama saya yang visionaris sudah menyadari pentingnya bahasa Inggris untuk bekal saya di masa depan.
Jaman saya dulu, bahasa Inggris baru mulai diajarkan di kelas 6 SD. Tak heran, tidak banyak teman yang menguasai bahasa Inggris dengan mudah. Sejak SMP hingga SMA, saya selalu dijadikan asisten oleh guru bahasa Inggris saya. Jika ada teman yang tidak mengerti, Pak Nelson yang tidak sabaran sering teriak: “TANYA NUNIEK!! TANYA NUNIEK!!!"
Nilai bahasa Inggris pulalah yang menyelamatkan saya lulus ujian nasional SMP. NEM saya terbilang pas-pasan saat itu. Bagaimana tidak? Nilai Matematika saya hanya 3,9 saja. Tapi nilai Bahasa Inggris saya sebaliknya: 9,3.
Di dunia nyata yang saya hadapi setelah lulus kuliah, terbukti kemampuan berbahasa Inggris saya jauh lebih banyak terpakai dibanding kemampuan matematika. Dalam dunia kerja yang saya pilih, tidak pernah saya dites matematika, tapi bahasa Inggris selalu terpakai.
Begitu pula ketika saya mendapat kehormatan diundang untuk mengunjungi beberapa negara seperti Irlandia, Amerika, dan Korea mewakili Indonesia. Selalu, yang dipakai adalah kemampuan saya berbahasa Inggris, bukan matematika. Saya dituntut untuk mampu berbahasa Inggris agar bisa menjalaninya dengan baik. Beberapa kali saya diminta untuk pidato singkat mewakili Indonesia di depan warga dunia, dan itu bisa dilakukan karena saya memiliki kemampuan berbahasa Inggris.
Jadi, kembali ke pemikiran penulis yang saya quote di atas, sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa saya keminggris untuk membuat tanda pembeda kasta dengan mereka yang ia sebut sebagai "lumpen”. Sesungguhnya, justru penulis artikel tersebutlah yang menciptakan mindset inferioritas sendiri dengan berpikir seperti itu.
Pemikiran dangkal, picik dan suudzon yang mengatasnamakan nasionalisme sempit seperti itulah yang menghambat orang untuk maju menghadapi MEA dan menjadi global citizen.
Jakarta, 31 Januari 2015
Nuniek Tirta Sari yang fasih keminggris
PS: kali ini saya menulis dalam bahasa Indonesia karena target pembaca yang saya tujukan adalah orang Indonesia, terutama mereka yang masih berpikiran sempit seperti penulis artikel tersebut.
0 Comments